Senin, 07 Februari 2011

Erwin Aksa: Franchise Indonesia Belum Konsisten

(Majalah Info Franchise Indonesia Januari 2011)

Sebanyak 60 pengusaha muda Indonesia yang tergabung dalam Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) melakukan kunjungan ke Amerika pada 22 Nopember – 4 Desember 2010. Dalam rangkaian kunjungan yang bertajuk HIPMI-USA Trade Mission 2010 ini, HIPMI bertemu dengan lebih dari 100 pengusaha dan investor di lima kota besar yaitu San Francisco, Los Angeles, Las Vegas, Washington DC, dan New York City.

Dalam konferensi persnya, pimpinan rombongan yang juga Ketua Umum BPP HIPMI Erwin Aksa menceritakan, rombongan sempat bertemu dengan pewaris Hotel Marriott dan eksekutif dari Freeport, duta besar RI untuk AS, serta menjadi tamu di Bursa Saham New York (NYSE), Wall Street. HIPMI juga diterima oleh para pejabat Departemen Perdagangan AS, Small Business Association (SBA), dan Asosiasi Franchise AS (International Franchise Association/IFA).

Erwin menilai ada perubahan paradigma dari pengusaha AS setelah kedatangan Barack Obama ke Indonesia. Pengusaha AS sangat antusias dan menunjukkan minatnya untuk berinvestasi di Indonesia. Erwin menambahkan, antusiasme yang luar biasa seperti itu belum pernah terjadi sebelumnya. “Makanya selama HIPMI di AS, mereka tempel terus dan banyak bertanya ke kita,” kata Erwin.

Terkait pertemuan dengan Asosiasi Franchise AS, Erwin bersedia membagi ceritanya kepada Zaziri dan Ade Ahyad dari Majalah Info Franchise Indonesia. Berikut petikannya :

Apa saja yang dibicarakan dalam pertemuan dengan Asosiasi Franchise AS? Bagaimana mereka melihat bisnis franchise Indonesia?

Kita tidak berbicara bagaimana mereka (asosiasi) melihat franchise Indonesia. Tapi mereka memberikan informasi bagaimana menjadi franchisor yang bagus, memberi training, mengelola franchise secara profesional, dan bagaimana berinteraksi dengan partner secara baik. Mereka terbuka untuk itu.

Mereka punya ribuan franchisor yang dikelola secara profesional. Mereka menjadi lembaga yang memasarkan anggotanya ke internasional. Mereka juga memiliki program seperti pameran dan advokasi, karena banyak persoalan hukum yang terjadi di bisnis franchise. Mereka mencoba memanfaatkan franchisor yang sudah punya pengalaman untuk sharing dengan franchisor baru. Itu yang mereka paparkan kepada kita.

Sebenarnya apa tujuan HIPMI bertemu dengan Asosiasi Franchise AS?

Harapan kami banyak teman-teman di HIPMI bisa melihat franchise-franchise Amerika yang belum ada di Indonesia. Mereka (asosiasi) juga memberikan referensi buku daftar kontak person anggotanya. Bahkan mereka siap menjembatani apabila ada yang tertarik kerja sama dengan franchise tersebut. Nanti mereka yang menghubungi pemilik atau manager dari perusahaan franchise tersebut. Itu sebenarnya target dan sasaran kita, karena HIPMI harus bisa mendorong anggotanya mendapatkan bisnis yang baik dan membangun hubungan yang klop dengan organisasi di seluruh dunia.

Apakah produk dari franchise kita bisa bersaing dengan produk luar?

Persoalannya adalah bagaimana kita bisa mempresentasikan franchise tersebut dengan baik. Kelebihan franchise luar negeri karena mereka sudah punya business model yang bagus, modal yang besar dan sudah mampu memberikan presentasi yang luar biasa, serta konsistensi menjaga kualitas.

Franchise Indonesia masih tidak konsisten, kualitasnya sering berubah, presentasinya pas-pasan, sehingga yang tumbuh adalah franchise-franchise kali lima. Jadi boleh dikatakan segmennya berbeda. Kita belum membuat packaging yang mantap agar menarik investor. Ini yang harus dibenahi.

Tapi kita lihat juga ada beberapa franchise Indonesia yang bisa bersaing seperti JCo yang bisa bersaing dengan Dunkin’ Donuts. Kemudian kita juga punya restoran yang bisa bersaing baik secara kualitas maupun dari sisi presentasi. Itu yang harus dibuat.

Kekuatan kita itu ada pada pasar yang sangat luas. Rupa-rupa jenis waralaba bisa masuk ke sini. Laku disini. Tapi pasar yang luas itu harus jadi arena yang bagus untuk waralaba-waralaba lokal membuktikan dirinya. Biasanya kan, jumlah gerai ikut menentukan menarik atau tidak bagi investor.

Bagaimana dengan pandangan HIMPI sendiri terhadap industri franchise Indonesia?

Industri franchise Indonesia diharapkan bisa melakukan pembenahan yang lebih terstruktur dalam pengembangannya, manajemennya, dan pertumbuhannya, sehingga franchise itu bisa menjadi produk nasional, bahkan internasional. Banyak barang-barang ataupun produk produk dari Indonesia yang mampu, akan tetapi kita tidak mengelolanya dengan baik, sehingga belum bisa menasional.

Industri ini sebenarnya sangat prospektif. Jumlah penduduk yang banyak membuat setiap bisnis bisa memiliki pasar. Kami melihat industri ini masih tumbuh secara alami. Belum ada kesengajaan untuk membantu industri ini menjadi salah satu sektor yang bisa men-drive ekonomi secara masif. Padahal, sebagian besar terkait dengan sektor yang sangat seksi yakni konsumsi. Konsumsi memberi kontribusi sekitar 50% bagi pertumbuhan ekonomi. Jadi, industri franchise harus berperan di dalam pertumbuhan.

Bagaimana perkembangannya?

Ya itu tadi, dari awal industri ini tumbuh seperti by accident saja. Berbeda sekali dengan industri franchise di beberapa negara maju semuanya by design. Kalau kita lihat, industri ini tumbuh dalam ketidaksengajaan kondisi makro ekonomi pada 1998. Saat itu krisis melanda kita dan negara-negara ASEAN lainnya. Apa yang terjadi? Nilai tukar atas US$ meningkat tajam. Banyak master franchise dan franchisee yang membeli waralaba asing kemudian berteriak sebab tidak mampu membayar franchise fee yang naik gila-gilaan.

Kemudian muncul ide membuat waralaba sendiri atau lokal. Apalagi banyak profesional waktu itu yang kena PHK dan punya pesangon besar tapi tidak tahu mau bisnis apa dan mulai bisnis darimana. Nah, mereka ini kemudian bertemu dengan waralaba lokal, dan membeli waralaba lokal itu. Maka tumbuhlah waralaba lokal. Tahun 2005 saja, merek yang masuk pasar ada sekitar 300-500. Sekarang sudah seribuan merek. Padahal sebelum 1998, yang namanya franchise itu yang dikenal sekitar McDonald atau KFC saja. Krisis 1998 itu ada positifnya juga.

Apakah cukup maju dibandingkan beberapa negara ASEAN?

Kalau kita ini memang mereknya banyak. Tapi belum cukup maju dari sisi manajerial, packaging. Ini yang sangat disayangkan. Bila dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia, ya kita masih (tertinggal) jauh. Sebab disana ada kesengajaan dari pemerintah untuk menjadikan waralaba sebagai salah satu produk atau industri yang go global atau menjadi global brand. Di Singapura misalnya ada namanya Spring atau lembaga yang bertugas membuat global brand dari Singapura. Waralaba menjadi produk utama di situ.

Apa yang kurang dari industri fanchise Indonesia? Bagaimana solusinya?

Kekurangan industri ini masih tumbuh secara sporadis. Ada yang baru buka dua tiga cabang sudah difranchisekan. Standardisasi kita belum jelas. Kalau toh ada regulasinya, implementasinya yang lemah. Kalau pun mau ditegakkan aturannya, mana sisi pembinaannya. Solusinya adalah industri ini harus mendapat perhatian khusus baik dari pemerintah, asosiasi, perbankan, maupun lembaga-lembaga lainnya.

Kalau dari sisi Pemerintah, menurut Anda apakah peduli dengan industri ini?

Ya jangan diserahkan pada pemerintah semua. Pengusahanya yang harus kreatif. Pemerintah hanya sebagai fasilitator, tetapi tidak bisa memberikan segalanya. Jadi tergantung kreativitas pengusahanya.

Apa harapan Anda terhadap industri franchise ke depan?

Kita berharap bisnis ini bisa growth. Karena ini business model yang bisa mengangkat pengusaha-pengusaha baru di Indonesia. Business model-nya sudah tersusun rapih dan terstruktur sehingga mudah dijalankan.

Berapa besar sumbangan industri ini dalam membuka lapangan pekerjaan?

Saya tidak punya data. Tapi industri ini sangat padat karya. Secara langsung dia menyerap tenaga kerja-tenaga kerja terdidik. Ekspansi jaringan makin besar, makin banyak juga tenaga kerja yang diserap. Yang tidak terdidik juga banyak diserap. Secara tidak langsung, industri lainnya juga banyak tergantung kepada industri ini. Misalnya industri makanan dan minuman, peralatan rumah tangga, material bangunan, dan sebagainya. Dengan sekitar 1000 perusahaan franchise yang ada, saya kira dia mampu menyerap puluhan ribu bahkan jutaan tenaga kerja. Dan untuk memulai sebuah bisnis, franchise paling ideal untuk pengusaha-pengusaha pemula.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar