Senin, 07 Februari 2011

Pengalaman Sukses Fabian Gelael Menjadi Master Franchise KFC

Majalah Info Franchise Indonesia Februari 2011

KFC Indonesia merupakan salah satu contoh keberhasilan brand internasional yang dikembangkan lewat pola kerja sama franchise. Brand ini memulai kiprahnya di Indonesia sejak 1979. Eksistensinya hingga kini masih mendominasi bidang bisnis yang digelutinya. Sepanjang perjalanannya hingga kini, KFC Indonesia yang ditukangi oleh Gelael Group, lewat PT Fastfood Indonesia Tbk. sebagai master franchise KFC di Indonesia, tidak pernah dipindahtangankan. Hal itu merupakan bukti dari terjalinnya hubungan harmonis antara franchisee-franchisor.

Managing Director KFC Indonesia Fabian Gelael mengungkapkan, keluarganya membawa masuk KFC ke Indonesia dan membangunnya dari mulai outlet pertama hingga sekarang berjumlah sekitar 398 outlet tersebar di seluruh Indonesia. Sampai dia sendiri merasa, passion yang dimilikinya terhadap KFC mungkin lebih besar dari para franchisornya di Amerika. “Kalau tidak salah, semenjak kita menjadi franchisee KFC, kepemilikan KFC International sudah berpindah tiga tangan. KFC Indonesia adalah franchisee tertua di seluruh dunia. Indonesia bukan KFC tertua, karena KFC Malaysia sudah ada lima tahun sebelum KFC Indonesia, tapi pemiliknya sudah berganti tangan,” kisahnya.

Lebih jauh mengenai apa yang dilakukannya sebagai master franchise KFC di Indonesia, Fabian Gelael menceritakan kepada wartawan Majalah Info Franchise Indonesia, Ade Ahyad. Berikut kutipannya:

Apa yang membuat seseorang berhasil sebagai franchisee?

Kalau menjadi franchisee, pertama yang kita pegang adalah konsistensi. Bagaimana menjaga satu produk yang konsisten dari toko pertama sampai toko ke sekian ratus. Kedua, produknya bisa diterima oleh banyak orang atau kelompok orang yang menjadi target market. Tapi untuk point kedua itu tergantung dari positioning restoran tersebut. Kalau kita mau main diatas, kelas A, biasanya tastenya pasti lebih captive kepada sebuah market tertentu. Tapi kalau kita mau main lebih bawah, kita harus mempunyai rasa yang lebih general. Yang paling penting menurut saya itu konsistensi.

Kalau bicara konsistensi, hubungannya banyak sekali. Terkait dengan franchise, pertama, bagaimana Anda membangun quality assurance (QA/quality control). Kedua, bagaimana Anda mendidik sumberdaya manusia (SDM) yang Anda miliki agar selalu mendeliver produk yang tastenya sama terus. Ketiga, bagaimana sistem logistik Anda. Karena bahan baku itu sangat mempengaruhi rasa dari makanan.

Selain dari produk, karena bermain di restoran yang erat hubungannya dengan pelayanan, kalau kita kaitkan dengan franchise, bagaimana kita mendidik SDM sehingga dapat memberikan pelayanan yang seragam dari store pertama sampai store yang kesekian ratus. Berikutnya adalah aset (store). Akan sulit apabila satu store terlihat jelek, store lainnya terlihat bagus. Jadi timpang. Itu kita bermain dengan ekspektasi. Konsistensinya pun harus ada antara aset yang satu dengan aset yang lain.

Ukuran keberhasilan franchisee menurut Anda seperti apa?

Menurut saya sebagai franchisee, keberhasilannya adalah karena fokus. Passion atau hasrat kita, rasa cinta kita terhadap bisnis yang kita geluti harus betul-betul 100%. Banyak orang ingin menjalankan franchise karena kebetulan atau karena sampingan.. Menurut saya, itu tidak berjalan. Yang namanya franchise, mayoritas retail. Dan yang namanya retail, kita harus dekat kepada sumberdaya kita. Yang tidak kalah penting, kita harus tahu apa yang konsumen inginkan dari kita.

Konsumen Indonesia sendiri adalah konsumen yang sangat maju, konsumen yang cepat berubah, konsumen yang cukup demanding. Mereka siap menyediakan uang yang banyak sepanjang apa yang mereka inginkan bisa didapat. Seringkali kita harus lebih bisa membaca apa yang mereka inginkan dalam satu atau dua bulan bahkan tahun mendatang. Seorang franchisee yang betul itu yang mempunyai sifat visioner, bisa membaca kemana kecenderungan konsumen. Itu kalau Anda ingin menjadi yang nomor satu. Kalau Anda ingin menjadi franchisee biasa-biasa saja, Anda tinggal ikuti apa yang franchisor inginkan.

Apa yang terjadi di KFC justru berbeda. Kita sebagai franchisee malah lebih aktif, lebih visioner, dari franchisor kita. Sehingga KFC Indonesia selalu menjadi market learning dari KFC lainnya.

Di franchise sudah ada SOP, kenapa harus jadi franchisee aktif?

Kita berbicara mengenai (menjadi) beda. Kalau Anda hanya ingin menjadi franchisee saja, Anda tidak perlu berbuat apa-apa. Namun kalau Anda ingin tetap menjadi franchisee yang nomor satu, Anda harus menjadi visioner yang baik. Kalau tidak, Anda akan sama dengan yang lain.

Semua bisnis sekarang ini, produknya bisa sama, namun jenis bisnisnya bisa berbeda. Misalnya saya tetap menjual ayam, tapi saya memposisikan KFC bukan sebagai restoran yang menjual ayam lagi seperti 15 tahun yang lalu. Saya memposisikan KFC sebagai entertainment center, dimana KFC menjadi tempat gaul, tempat hang out, all in one, apa yang Anda inginkan ada disini. Itu baru dari segi fungsional saja.

Kalau franchise kan sudah ada franchisor. Seberapa besar faktor keberhasilan franchisee ditentukan oleh franchisor?

Keberhasilan brand disebuah kota, belum tentu berhasil di kota lain. Apalagi sebuah bangsa, budayanya pasti berbeda-beda. Kalau mau memilih jenis bisnis, kita harus berhati-hati karena sekarang ini di Indonesia banyak sekali brand yang masuk. Harus pintar-pintar memilih. Kita harus sesuaikan dulu apakah keberhasilan sebuah brand diluar negeri juga bisa diterima market kita. Kalau mau diterima, kita cek berapa besar marketnya.

Menurut Anda, adakah perbedaan antara franchise lokal dengan luar?

Franchise yang dari luar biasanya sangat detail. Terutama yang dari Amerika. Orang Amerika itu sudah dibiasakan dari dulu, sebelum bekerja, sistemnya didevelop terlebih dahulu dan sangat detail sekali. Misalnya cara mencuci tangan, bisa diajarkan step bu step­-nya. Dia tidak pernah memandang enteng satu pekerjaan yang kita lihat begitu simpel yang sudah kita lakukan setiap hari.

Kalau satu perusahaan yang sudah besar, definisi cuci tangan yang bersih itu seperti apa, cuci tangan yang bersih itu apa saja stepnya. Airnya juga ditentukan seberapa hangat. Chemicalnya juga sudah ditentukan. Berapa kali dia harus menggosok tangannya juga ditentukan. Semakin detail dia bisa melakukan itu semua, semakin konsisten semuanya.

Saya belum melihat brand Indonesia yang mempunyai detail manual yang akhirnya bisa membuat orang yang sudah bekerja 30 tahun dengan yang baru kerja, mempunyai cara yang sama. Mungkin perbedaannya dalam hal speed saja. Yang 30 tahun pasti lebih cepat melakukannya. Dan jangan lupa, segala macam prosedur itu harus ada quality control-nya. Berapa banyak perusahaan franchisee yang setelah mendevelop sesuatu langsung membentuk suatu quality control.

Kalau dari SOP bisa kita copy. Kalau pelaksaanannya sendiri Anda melihatnya bagaimana?

Kalau pelaksanaan kembali lagi pada control monitoring (CM/QC). Seberapa penting seorang atasan melihat control monitoring. CM itu biasanya tidak terasa pada level pertama atau kedua. CM biasanya baru terasa saat sesuatu out of control. Dan pada saat kita tahu out of control, biasanya kejadiannya sudah jauh lebih parah. Baru terdeteksi ketika sudah parah. Kalau manusia, biasanya terdeteksi kanker kalau sudah stadium 4. Beda dengan orang yang sering check up, mungkin stadium 1 pun sudah ketahuan. Tiba-tiba kita sudah tahu kita punya pelanggaran positioning, kita punya arah sudah jauh dari apa yang dulu kita sepakati.

Orang sering beranggapan bahwa buka KFC itu enak. Buka satu store, ramai. Buka sampai ratusan store, ramai. Itu karena orang melihat dari luarnya. Tapi dari dalamnya, pekerjaan yang kita lakukan setiap hari juga luar biasa. Bagaimana kita mengontrol 14 ribu orang supaya mereka bisa konsisten melakukan tugasnya setiap hari dimana kita juga harus mengatasi faktor kebosanan dan lelah (statis). Sementara konsumen tidak mau tahu kondisi seperti itu. Pokoknya setiap mereka datang, produknya harus enak seperti yang dimakannya kemarin, pelayanannya harus sambil senyum, tempatnya harus bersih, AC-nya juga dalam keadaan baik.

Lalu apa yang Anda lakukan?

Kembali lagi, bagaimana kita bisa membuat prosedur agar control monitoring-nya bisa terdeteksi secara tepat dan tepat. Dan semuanya itu memerlukan langkah praktis untuk belajar konsisten. Konsisten itu melakukan sesuatu yang sama setiap hari namun dengan semangat yang selalu baru. Dari dulu saya menjual original recipe ayam goreng. Dari 30 tahun lalu, saya selalu menjual ayam yang sama. Tapi bagaimana karyawan saya setiap hari mempunyai semangat baru dengan cara menyemangatinya dan membuatnya bangga bekerja di perusahaan, serta membuatnya merasa memiliki perusahaan.

Kita harus hati-hati. Konsisten itu beda dengan rutinitas. Rutinitas itu cara Anda melakukannya. Sedangkan konsisten menurut saya, adalah hasilnya. Jadi caranya bisa berbeda-beda tapi hasilnya harus konsisten. Kalau Anda terjebak dengan rutinitas, mungkin Anda pikir caranya sama, tapi ternyata hasilnya tidak sama. Banyak orang berpikir sudah melakukan hal yang sama tapi hasilnya berbeda.

Berapa lama kita bisa dibilang konsisten?

Konsisten itu biasanya diukur dalam suatu periode tertentu. Dan kembali lagi, konsisten itu dilihat dari hasilnya, selalu sama atau tidak. Bisa dilihat dari pelayanannya, produknya, asetnya, semuanya konsisten atau tidak. Cara kita untuk melakukan itu bisa berbeda-beda, yang penting hasilnya sama.

Kalau dari uraian Anda, franchisee tidak sekedar ikut SOP. Berarti tidak semua franchisee bisa berhasil?

Tidak semua franchisee bisa berhasil. Makanya bisa dilihat, keberhasilan KFC dari tiap negara berbeda-beda. Itu semua tergantung dari passionnya franchisee. Saya mendrive KFC sebagai brand saya sendiri karena dari kecil setiap hari selalu melihat KFC. Makanya menurut saya, saya punya passion terhadap KFC mungkin lebih dari orang-orang yang ada di Amerika. Pemilik aslinya bahkan sudah berpindah tangan. Dan mereka (franchisor yang ada) sangat tahu akan hal itu (passion KFC Indonesia). Makanya kita diberikan begitu banyak fleksibilitas untuk produk development, dll. Kita mau apa saja boleh karena mereka juga tahu, saya akan berhati-hati sekali dalam menjaga brand karena kita sudah mendevelop ini sejak 32 tahun lalu, jauh sebelum mereka bergabung di KFC. Kalau tidak salah, semenjak kita menjadi franchisee KFC, kepemilikan KFC International sudah berpindah tiga tangan. KFC Indonesia adalah franchisee tertua di seluruh dunia. Indonesia bukan KFC tertua, karena KFC Malaysia sudah ada lima tahun sebelum KFC Indonesia, tapi pemiliknya sudah berganti tangan.

Arti passion itu seperti apa?

Bangun tidur memikirkan KFC. Dimana pun memikirkan KFC. Setiap kali Anda melihat sesuatu yang bagus atau jelek, Anda pikir KFC kalau seperti itu bagaimana. Saya kemana-mana bawa kamera. Kalau ada sesuatu ide yang bagus, saya potret untuk di-share dengan orang-orang saya. Itu namanya passion. Yang Anda pikirkan setiap saat hanya bagaimana membuat brand Anda menjadi lebih baik.

Passion itu erat hubungannya dengan inovasi. Brand yang kuat tidak pernah lepas dari inovasi yang bisa memberikan hasil yang konsisten.

Kalau franchisee terlalu aktif, apa tidak merusak standar dari franchisor?

Sama sekali tidak. Karena dalam melakukan tindakan yang basic, kita selalu berpegang kepada mereka. Karena mereka sebagai franchisor, pasti mempunyai fokus-fokus yang mendasar dimana kita sebagai franchisee seringkali sebagai kontributor. Jadi selama ini kerja sama kita dengan franchisor bagus sekali. Dan banyak sistem baru yang di apply kepada kita, itu hasil masukan dari kita karena mereka tidak menjalankan day to day-nya. Jadi bagaimana mereka melengkapi apa yang kita inginkan.

Jadi hubungan ideal yang mesti dibangun seperti apa?

Pada dasarnya hubungan yang sekarang kita bangun transparan, kita bisa memberikan gambaran apa yang terjadi di setiap market. Franchisor harus tahu. Dan sekarang itu, franchisor hebat memberikan fleksibilitas kepada franchiseenya yang telah terbukti mempunyai prestasi. Malah banyak sekali program kita yang ditiru dan dijadikan success story untuk di apply di franchisee lainnya.

Kenapa KFC Indonesia tidak mensubfranchisekan outletnya?

Karena susah mengontrolnya. Misalnya di Amerika. Karena negaranya sudah begitu maju dengan leverage education yang sudah begitu tinggi, kalau Anda pergi dari ke satu store dengan store lain, Anda bisa mendapatkan service yang berbeda. Kepemilikannya berbeda, sehingga passionnya berbeda. Misalnya terjadi begini, ada satu outlet franchisee KFC passionnya bukan di restoran, tapi diproperti. Sehingga dia berpikirnya, dengan adanya KFC, propertinya akan ramai.

Kalau dari principle tidak melarang?

Tidak melarang. Tapi kita memang tidak mau. Bagi saya lebih gampang punya satu kapten dalam satu kapal, dari pada mempunyai terlalu banyak kapten dalam satu kapal.

Anda melihat perkembangan franchise di Indonesia seperti apa?

Franchise di Indonesia cukup berkembang. Hampir semua brand luar negeri ada di Indonesia. Saya salut dengan orang-orang yang membawa brand luar masuk ke dalam. Karena mereka sudah investasi modal yang tidak sedikit. Saya yakin mereka juga pasti tidak mau rugi. Untuk membuka franchise sekarang tidak murah. Pada dasarnya, apabila dia mendatangkan sesuatu, akan ada pemain lama yang biasanya sudah lebih mapan dalam membaca market dan lebih paham dalam menjalankan bisnisnya. Sehingga untuk memasuki bisnis fast food baru lebih challenging. Bukan berarti tidak bisa. Kalau dia punya passion, pasti berhasil.

Perkembangan franchise di Indonesia akan semakin ramai. Market Indonesia sangat konsumtif dan senang mencari sesuatu yang baru. Franchise akan semakin ramai baik itu yang berhubungan dengan makanan, elektronik, garmen, dll.

Ada anggapan apapun yang berbau luar, pasti laku di Indonesia?

Saya tidak percaya itu. Tidak betul juga. Tapi biasanya, asal sebuah negara brand itu membantu. Misalnya kadar sukses fast food yang datang dari Amerika lebih baik dari fast food yang datang dari Inggris.

Siapa franchisee lokal lain yang menurut Anda cukup sukses?

Saya juga melihat sejumlah pemain lokal yang sudah berhasil menjadi franchisee secara sukses. Misalnya Solaria yang sangat luar biasa sukses tanpa terlepas dari konsistensinya. Produknya adalah makanan rumah, tapi dia bisa mencreate sedemikian rupa sehingga memiliki value lebih.

Untuk merek lokal sendiri bagaimana?

Bukan hal yang mustahil brand Indonesia bisa berkembang ke luar. Orang Indonesia mempunyai kelebihan kreatif dan punya market yang besar. Market yang besar akan membuat sebuah brand lebih konsisten. Seperti J.Co, salah satu pemain lokal yang luar biasa.

Erwin Aksa: Franchise Indonesia Belum Konsisten

(Majalah Info Franchise Indonesia Januari 2011)

Sebanyak 60 pengusaha muda Indonesia yang tergabung dalam Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) melakukan kunjungan ke Amerika pada 22 Nopember – 4 Desember 2010. Dalam rangkaian kunjungan yang bertajuk HIPMI-USA Trade Mission 2010 ini, HIPMI bertemu dengan lebih dari 100 pengusaha dan investor di lima kota besar yaitu San Francisco, Los Angeles, Las Vegas, Washington DC, dan New York City.

Dalam konferensi persnya, pimpinan rombongan yang juga Ketua Umum BPP HIPMI Erwin Aksa menceritakan, rombongan sempat bertemu dengan pewaris Hotel Marriott dan eksekutif dari Freeport, duta besar RI untuk AS, serta menjadi tamu di Bursa Saham New York (NYSE), Wall Street. HIPMI juga diterima oleh para pejabat Departemen Perdagangan AS, Small Business Association (SBA), dan Asosiasi Franchise AS (International Franchise Association/IFA).

Erwin menilai ada perubahan paradigma dari pengusaha AS setelah kedatangan Barack Obama ke Indonesia. Pengusaha AS sangat antusias dan menunjukkan minatnya untuk berinvestasi di Indonesia. Erwin menambahkan, antusiasme yang luar biasa seperti itu belum pernah terjadi sebelumnya. “Makanya selama HIPMI di AS, mereka tempel terus dan banyak bertanya ke kita,” kata Erwin.

Terkait pertemuan dengan Asosiasi Franchise AS, Erwin bersedia membagi ceritanya kepada Zaziri dan Ade Ahyad dari Majalah Info Franchise Indonesia. Berikut petikannya :

Apa saja yang dibicarakan dalam pertemuan dengan Asosiasi Franchise AS? Bagaimana mereka melihat bisnis franchise Indonesia?

Kita tidak berbicara bagaimana mereka (asosiasi) melihat franchise Indonesia. Tapi mereka memberikan informasi bagaimana menjadi franchisor yang bagus, memberi training, mengelola franchise secara profesional, dan bagaimana berinteraksi dengan partner secara baik. Mereka terbuka untuk itu.

Mereka punya ribuan franchisor yang dikelola secara profesional. Mereka menjadi lembaga yang memasarkan anggotanya ke internasional. Mereka juga memiliki program seperti pameran dan advokasi, karena banyak persoalan hukum yang terjadi di bisnis franchise. Mereka mencoba memanfaatkan franchisor yang sudah punya pengalaman untuk sharing dengan franchisor baru. Itu yang mereka paparkan kepada kita.

Sebenarnya apa tujuan HIPMI bertemu dengan Asosiasi Franchise AS?

Harapan kami banyak teman-teman di HIPMI bisa melihat franchise-franchise Amerika yang belum ada di Indonesia. Mereka (asosiasi) juga memberikan referensi buku daftar kontak person anggotanya. Bahkan mereka siap menjembatani apabila ada yang tertarik kerja sama dengan franchise tersebut. Nanti mereka yang menghubungi pemilik atau manager dari perusahaan franchise tersebut. Itu sebenarnya target dan sasaran kita, karena HIPMI harus bisa mendorong anggotanya mendapatkan bisnis yang baik dan membangun hubungan yang klop dengan organisasi di seluruh dunia.

Apakah produk dari franchise kita bisa bersaing dengan produk luar?

Persoalannya adalah bagaimana kita bisa mempresentasikan franchise tersebut dengan baik. Kelebihan franchise luar negeri karena mereka sudah punya business model yang bagus, modal yang besar dan sudah mampu memberikan presentasi yang luar biasa, serta konsistensi menjaga kualitas.

Franchise Indonesia masih tidak konsisten, kualitasnya sering berubah, presentasinya pas-pasan, sehingga yang tumbuh adalah franchise-franchise kali lima. Jadi boleh dikatakan segmennya berbeda. Kita belum membuat packaging yang mantap agar menarik investor. Ini yang harus dibenahi.

Tapi kita lihat juga ada beberapa franchise Indonesia yang bisa bersaing seperti JCo yang bisa bersaing dengan Dunkin’ Donuts. Kemudian kita juga punya restoran yang bisa bersaing baik secara kualitas maupun dari sisi presentasi. Itu yang harus dibuat.

Kekuatan kita itu ada pada pasar yang sangat luas. Rupa-rupa jenis waralaba bisa masuk ke sini. Laku disini. Tapi pasar yang luas itu harus jadi arena yang bagus untuk waralaba-waralaba lokal membuktikan dirinya. Biasanya kan, jumlah gerai ikut menentukan menarik atau tidak bagi investor.

Bagaimana dengan pandangan HIMPI sendiri terhadap industri franchise Indonesia?

Industri franchise Indonesia diharapkan bisa melakukan pembenahan yang lebih terstruktur dalam pengembangannya, manajemennya, dan pertumbuhannya, sehingga franchise itu bisa menjadi produk nasional, bahkan internasional. Banyak barang-barang ataupun produk produk dari Indonesia yang mampu, akan tetapi kita tidak mengelolanya dengan baik, sehingga belum bisa menasional.

Industri ini sebenarnya sangat prospektif. Jumlah penduduk yang banyak membuat setiap bisnis bisa memiliki pasar. Kami melihat industri ini masih tumbuh secara alami. Belum ada kesengajaan untuk membantu industri ini menjadi salah satu sektor yang bisa men-drive ekonomi secara masif. Padahal, sebagian besar terkait dengan sektor yang sangat seksi yakni konsumsi. Konsumsi memberi kontribusi sekitar 50% bagi pertumbuhan ekonomi. Jadi, industri franchise harus berperan di dalam pertumbuhan.

Bagaimana perkembangannya?

Ya itu tadi, dari awal industri ini tumbuh seperti by accident saja. Berbeda sekali dengan industri franchise di beberapa negara maju semuanya by design. Kalau kita lihat, industri ini tumbuh dalam ketidaksengajaan kondisi makro ekonomi pada 1998. Saat itu krisis melanda kita dan negara-negara ASEAN lainnya. Apa yang terjadi? Nilai tukar atas US$ meningkat tajam. Banyak master franchise dan franchisee yang membeli waralaba asing kemudian berteriak sebab tidak mampu membayar franchise fee yang naik gila-gilaan.

Kemudian muncul ide membuat waralaba sendiri atau lokal. Apalagi banyak profesional waktu itu yang kena PHK dan punya pesangon besar tapi tidak tahu mau bisnis apa dan mulai bisnis darimana. Nah, mereka ini kemudian bertemu dengan waralaba lokal, dan membeli waralaba lokal itu. Maka tumbuhlah waralaba lokal. Tahun 2005 saja, merek yang masuk pasar ada sekitar 300-500. Sekarang sudah seribuan merek. Padahal sebelum 1998, yang namanya franchise itu yang dikenal sekitar McDonald atau KFC saja. Krisis 1998 itu ada positifnya juga.

Apakah cukup maju dibandingkan beberapa negara ASEAN?

Kalau kita ini memang mereknya banyak. Tapi belum cukup maju dari sisi manajerial, packaging. Ini yang sangat disayangkan. Bila dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia, ya kita masih (tertinggal) jauh. Sebab disana ada kesengajaan dari pemerintah untuk menjadikan waralaba sebagai salah satu produk atau industri yang go global atau menjadi global brand. Di Singapura misalnya ada namanya Spring atau lembaga yang bertugas membuat global brand dari Singapura. Waralaba menjadi produk utama di situ.

Apa yang kurang dari industri fanchise Indonesia? Bagaimana solusinya?

Kekurangan industri ini masih tumbuh secara sporadis. Ada yang baru buka dua tiga cabang sudah difranchisekan. Standardisasi kita belum jelas. Kalau toh ada regulasinya, implementasinya yang lemah. Kalau pun mau ditegakkan aturannya, mana sisi pembinaannya. Solusinya adalah industri ini harus mendapat perhatian khusus baik dari pemerintah, asosiasi, perbankan, maupun lembaga-lembaga lainnya.

Kalau dari sisi Pemerintah, menurut Anda apakah peduli dengan industri ini?

Ya jangan diserahkan pada pemerintah semua. Pengusahanya yang harus kreatif. Pemerintah hanya sebagai fasilitator, tetapi tidak bisa memberikan segalanya. Jadi tergantung kreativitas pengusahanya.

Apa harapan Anda terhadap industri franchise ke depan?

Kita berharap bisnis ini bisa growth. Karena ini business model yang bisa mengangkat pengusaha-pengusaha baru di Indonesia. Business model-nya sudah tersusun rapih dan terstruktur sehingga mudah dijalankan.

Berapa besar sumbangan industri ini dalam membuka lapangan pekerjaan?

Saya tidak punya data. Tapi industri ini sangat padat karya. Secara langsung dia menyerap tenaga kerja-tenaga kerja terdidik. Ekspansi jaringan makin besar, makin banyak juga tenaga kerja yang diserap. Yang tidak terdidik juga banyak diserap. Secara tidak langsung, industri lainnya juga banyak tergantung kepada industri ini. Misalnya industri makanan dan minuman, peralatan rumah tangga, material bangunan, dan sebagainya. Dengan sekitar 1000 perusahaan franchise yang ada, saya kira dia mampu menyerap puluhan ribu bahkan jutaan tenaga kerja. Dan untuk memulai sebuah bisnis, franchise paling ideal untuk pengusaha-pengusaha pemula.

Marketing Trend 2011

Sumber: Alexander Mulya Markplus

Pasar Indonesia di 2011 nanti diprediksi akan semakin bagus. Bahkan banyak brand asing yang sudah bersiap menyerbu pasar Indonesia.

Ketika menghadiri pertemuan Malaysian Retailer Chains Association (MRCA) beberapa waktu lalu, pengamat pemasaran dari MarkPlus Alexander Mulya mendapati ketertarikan anggota MRCA untuk masuk ke pasar Indonesia. Dalam pertemuan tersebut, Alex berbicara mengenai prospek bisnis di Indonesia. Sekedar informasi, organisasi ini mampu mengambil 40% pasar Mall di Malaysia. Tidak seperti Indonesia yang hanya dikuasi oleh pemain besar.

Respon yang sama juga terjadi di Jepang. Menurut Alex, pengusaha Jepang sudah mulai mau mendengar Indonesia. Sebab kontribusi Indonesia, terutama sektor otomotif sangat tinggi. “Apalagi pasar sepeda motornya, jangan ditanya deh,” kata Alex. Jika selama ini Jepang lebih menyasar pasar Amerika, maka saat ini mereka sudah mulai melirik kawasan Asia Tenggara. Dan salah satu market yang cukup besar di Asia Tenggara adalah Indonesia.

Cerita Alex tersebut sekedar mengisyaratkan bahwa pasar Indonesia di 2011 akan banyak kedatangan tamu luar. Beberapa dari pemain asing memang ada yang pernah mencoba ekspansi di Indonesia, tapi kurang berkembang karena tidak mendapatkan partner yang bagus di Indonesia. Selain itu, menurut Alex, mungkin juga konsep mereka tidak diterima pasar Indonesia. “Jangan pikir semua brand asing yang masuk ke Indonesia akan diterima. Apalagi sekarang ini, konsumen Indonesia sudah lebih pintar. Untuk yang menyangkut taste malah sudah lebih bagus,” terang Alex.

Dia juga menyampaikan, perekonomian Indonesia akan memasuki masa keemasan mulai 2011. Guna menghadapi masa tersebut, pelaku usaha dalam negeri harus mulai bersiap melakukan investasi dari sekarang, jangan menunggu ramai. “Kalau kita percaya dengan masa keemasan tersebut, kita harus berani investasi sebelum pertumbuhan,” kata Alex mengingatkan pelaku usaha Indonesia yang cenderung beraksi setelah ramai. Hal ini juga berguna untuk mengantisipasi serbuan asing yang akan masuk ke Indonesia. Pelaku usaha, khususnya ritel harus dapat membangun strategi promosi yang mengarah pada peningkatan branding, customer dan produk. Alex berharap, masa keemasan Indonesia bisa berjalan lebih dari lima tahun.

“Ritel harus menjemput bola. Sebisa mungkin customernya tidak hanya belanja tapi tempat tersebut bisa jadi semacam meeting place. Tempat nongkrong yang digemari pengunjung. Saat ini, sebuah outlet bisnis ritel tidak selalu ramai hingga terjadi kepadatan. Tapi, ada saat-saat tertentu dimana pengunjungnya membludak (happy hour). Saat happy hour ini dapat dimanfaatkan pengelola untuk lebih mendekatkan diri kepada customer. Program seperti ini dilakukan untuk mencapai dua tujuan, sales dan branding,” papar Alex panjang.

Alex menilai, para pebisnis di 2011 cenderung semakin optimis. Apalagi pemain besar seperti J.CO Donuts & Coffee yang menyesuaikan pertumbuhannya dengan pertumbuhan Mall (shopping mall). “Kalau ada Mall buka, selama hitungannya masuk, dia pasti buka,” kata Alex. Hal itu dilakukan untuk memblokir pergerakan kompetitor. Intinya, brand besar cenderung terus berekspansi di 2011.

Bagaimana dengan brand kecil yang memiliki keterbatasan financial? Alex menjawab, kalau brand kecil mungkin agak sulit. Tapi mestinya, brand kecil lebih rajin mendekati komunitas, lebih agresif dan kreatif menemukan cara pemasaran yang low budget high impact.

“Sekarang ini era new wave marketing yang berbasiskan komunitas dan juga interactivity dengan customer,” beber Alex. Pengusaha ritel misalnya, harus menjadi tempat komunitas atau tempat nongkrong. Sebisa mungkin pelaku usaha menjemput bola ke komunitas. Kalau dulu orang buka ritel berpikirnya setelah buka, jualan, selesai. Tapi sekarang, harus jemput bola, tidak cuma jualan. Aksi nyatanya bisa melalui kartu kredit atau membuat event-event yang lebih mendekatkan kepada komunitas.

Konsep pemasaran ritel di Indonesia saat ini menurut Alex masih sangat sederhana. Masih kalah agresif dibanding dengan perusahaan consumer goods semacam unilever. “Mungkin, pengusaha ritel merasa mereka sudah berinvestasi lokasi sehingga agak berat untuk melakukan promosi yang agresif mendekati komunitas. Kalau consumer goods biasanya tidak memiliki outlet atau tempat berjualan,” kata Alex berasumsi. Dia melanjutkan, saat ini belum melihat brand yang melakukan promosi seagresif J.CO dimasa lalu yang menurutnya cukup modern sekali.

Terkait dengan media sosial sebagai salah satu tools pemasaran, Alex mengatakan, tahun ini banyak yang terkejut dengan pertumbuhan penggunaan media sosial yang diluar perkiraan. Di Indonesia, mayoritas orang mengakses media sosial atau internet menggunakan handphone. Jadi selama pasar handphone masih tumbuh, penggunaan media sosial juga akan tetap tumbuh.

Dalam pandangan Alex, media sosial termasuk salah satu kategori marketing komunitas. Ada tiga kriteria customer yang dianjurkan didekati untuk promosi, youth, woman, dan netizen (orang yang banyak beraktivitas di internet). Tiga kriteria kelompok masyarakat ini cenderung lebih terbuka dan mau mencoba. Prilaku ini jauh berbeda dengan lawan dari ketiga golongan tersebut, senior, man, dan citizen. Jika anak muda (yunior/youth) lebih terbuka dan cenderung mau mencoba hal baru, maka golongan senior lebih tertutup dan sudah terbentuk sehingga enggan mencoba hal baru.

Jika wanita (woman) belanja untuk keluarga dan temannya, dalam artian mau mempengaruhi orang lain terkait penggunaan produk tertentu dan lebih emosional, maka laki-laki (man) cenderung membeli sesuatu hanya untuk dirinya sendiri dan tidak terlalu emosional. Sama dengan youth dan woman, netizen juga lebih terbuka dan sering berbagi informasi melalui obrolan dunia maya. Lawan dari netizen adalah citizen (orang yang tidak beraktivitas di internet).

Walaupun target penjualan produknya bukan tiga kelompok tadi, kegiatan promosi setidaknya harus mendekati ketiganya. Karena untuk menggerakkan pasar, harus bisa membuat brand kita dibicarakan di kalangan youth, woman, dan netizen (YWN). Kelompok YWN ini memiliki kecenderungan mempengaruhi customer lain. Alex mencontohkan Harley Davidson yang sudah mulai masuk ke woman. “Tapi bukan lantas meninggalkan customer yang lama. Customer lama juga perlu dimaintain. Hanya saja, dibutuhkan upaya lain dengan menjangkau kelompok yang lain,” pungkasnya.

Ade Ahyad (Artikel berita Majalah Info Franchise Indonesia Februari 2011)

Purdi E. Chandra: Ciptakan Pengusaha Baru Lewat Franchise

Reputasi lembaga bimbingan belajar Primagama yang dibangun Purdi E. Chandra sejak tahun 1982 telah dikenal luas di Indonesia. Apalagi sejak menerapkan pola kerja sama waralaba (franchise) pada 1999/2000, pertumbuhan gerainya melesat kencang. Sebelum difranchisekan, dalam setahun Purdi hanya dapat membuka 10 – 12 cabang. Setelah difranchisekan, setahun bisa buka 120 cabang. Dan bisa dibilang, Primagama termasuk salah satu merek lokal awal yang mengembangkan sistem franchise.

Saat ditemui di Wisma Kodel, Kuningan, Jakarta Selatan, (kantor Primagama di Jakarta), Purdi mengatakan gerai Primagama Bimbel saat ini mencapai ribuan. Ia bahkan kesulitan mengembangkannya akibat keterbatasan lokasi. Sebab, aturan jarak antar outlet Primagama sekitar 4 km. Sebuah fakta yang cukup fantastis bagi sebuah merek lokal.

Selain sebagai pebisnis, Purdi juga dikenal sebagai mentor bagi pengusaha muda atau pemula. Dia kerap diundang sebagai pembicara diacara seminar kewirausahaan. Purdi juga mendirikan Entrepreneur University (EU) yang banyak menghasilkan pengusaha muda handal. Tokoh satu ini juga identik dengan keberaniannya (kenekatannya) dalam menekuni dunia kewirausahaan. Karena menurutnya, mental pengusaha itu harus berani mengambil risiko, pantang menyerah, dan tidak cengeng.

Lewat berbagai saluran, Purdi terus menyebarkan virus kewirausahaan bagi masyarakat Indonesia. Salah satunya, dengan memfranchisekan bisnis miliknya. Kepada Ade Ahyad, wartawan Majalah Info Franchise Indonesia, Purdi bersedia berbagi pandangannya tentang dunia franchise. Berikut petikannya:

Bagaimana awal perkenalan Anda dengan sistem franchise?

Dulu saya pernah beli franchise. Saya beli karena saya ingin belajar sistemnya seperti apa. Akhirnya saya dapat ruhnya. Jadi ternyata ruhnya franchise itu ada dalam hal training supaya bagus. Kemudian sistem dan manajemennya harus bagus.

Kemudian ketika ingin memfranchisekan Primagama, manajemennya juga ada yang pro dan kontra. Primagama mulai difranchisekan sekitar 1999 – 2000. Waktu itu saya ingin cepat punya banyak outlet. Saya memang bisa mengembangkan sendiri. Tapi kan perkembangannya tidak bisa seperti sekarang. Itu saja. Belum terpikir untuk pengembangan entrepreneur baru. Tapi kemudian baru terpikir, ternyata dengan franchise lebih gampang menciptakan pengusaha.

Lantas bagaimana franchise bisa menciptakan entrepreneur baru?

Saya punya visi menumbuhkan banyak pengusaha baru. Sekarang itu sampai terjadi karyawan saya jadi pengusaha. Mereka tetap jadi karyawan. Tidak mau keluar. Kalau Anda ke Jogja, semua karyawan saya punya mobil sampai parkiran mobil di kantor tidak cukup. Mereka patungan buka cabang Primagama dimana-mana. Satu cabang misalnya, bisa dimiliki 20 karyawan.

Dibanding buka bisnis sendiri, risiko gagalnya itu banyak. Kalau franchise, paling hanya 10%. Di Amerika bahkan hanya 6% yang gagal franchise. Jadi peluang untuk karyawan menjadi pengusaha lewat franchise itu paling gampang. Dengan franchise, 90% keberhasilan sudah ditangan. Kalau buka sendiri, justru kebalikannya, kegagalannya bisa 90%. Asal mengelolanya bagus, franchisee pasti maju.

Kalau kita buka sendiri, namanya in business. Semua dilakukan sendiri. Kalau franchise kan sudah ada sistemnya, istilahnya on business. On business ini entrepreneur sejati. Kalau pengusaha sibuk, itu bukan pengusaha. Pengusaha kok sibuk? Tapi memang ada orang yang memulainya dengan tetap menjadi karyawan, disamping itu dia punya bisnis. Dia sibuk jadi karyawan (ditampat lain). Bisnisnya bisa ditinggal.

Apakah semua orang bisa jadi pengusaha lewat franchise?

Bisa. Bahkan tidak harus sesuai bakat atau hobi. Yang penting suka sama duitnya. Dan itu memang gampang. Yang susah kan karena kita terus berpikir susah saja. Kalau buka franchise, dari awal semua dibuatkan franchisor, asal ada uangnya. Yang tidak punya uang, bisa pakai uang orang lain atau pinjam ke bank.

Termasuk yang sudah punya bisnis, bisa beli franchise dulu untuk belajar franchise. Saya dulu begitu, beli dulu. Saya dulu pernah jual franchise Primagama disuatu wilayah dengan harga yang sangat murah karena tidak terlalu paham franchise.

Menurut Anda, perkembangan bisnis franchise di Indonesia seperti apa?

Yang saya tahu bisnis franchise yang maju pesat itu di Amerika. Disana sudah lebih dari 10 ribu merek franchise. Kalau di kita, sekarang mungkin baru sekitar 1000. Di Amerika, tidak ada orang yang usaha buka sendiri. Lebih baik dia beli franchise. Apalagi kalau dia karyawan, lebih gampang untuk berbisnis dengan sistem franchise. Dia tetap jadi karyawan, tapi punya bisnis.

Franchise Indonesia sekarang ini cukup bagus. Tapi memang ada franchise musiman yang booming sebentar kemudian habis. Biasanya itu yang (investasi) kecil. Tapi sebetulnya mereka sudah balik modal. Hanya saja kecil. Misalnya investasi Rp 4 juta, kemudian 3 bulan tutup. Kalau sudah balik modal atau bahkan untung kecil, tidak masalah. Dia tidak rugi. Tapi kan memang (bisnisnya) musiman.

Yang namanya pengusaha harus jatuh bangun. Tapi kalau ini (bisnis musiman), dia tidak jatuh, hanya saja bisnisnya sudah tidak laku, tapi sudah balik modal. Ya dia tinggal bisnis yang lain lagi. Kalau sudah sekali melakukan bisnis, pasti bisa untuk (bisnis) yang lain. Yang repot itu, orang sekarang terlalu banyak berpikir. Kalau terus dipikir, tidak akan buka. Coba dibuka dulu, beli franchise, setelah itu pasti berpikir. Itu salahnya kita, kebanyakan berpikir.

Betulkah franchise bisa menggerakkan perekonomian?

Itu betul. Satu franchise saja bisa mempekerjakan banyak orang. Itu sudah jelas. Amerika juga begitu. Jumlah pengusaha Indonesia masuk kurang banyak. Lewat franchise, akan lebih cepat melahirkan pengusaha baru. Maka saran saya, perbankan harus berani membiayai franchise. Dipilih franchise yang sudah jelas bagus dan berjalan. Di Indonesia belum terjadi, bagaimana MoU (franchise agreement) dijadikan jaminan untuk (pembiayaan) franchise, tidak usah pakai tanah atau sertifikat. Ini sudah jelas-jelas bisnis.

Bank yang sudah mulai pembiayaan sekarang ini BRI. Tapi, (sistem kerjasamanya) kita harus buka dulu franchisenya sendiri, baru dia meminjamkan 65%-nya. Kita buka sendiri dulu kan mungkin pinjam kemana-mana. Dia (BRI) juga harus ada jaminan (tanah). Itu yang menurut saya kita masih ketinggalan jaman, masih terlalu penakut. Mungkin takut rugi. Padahal yang namanya franchise, franchisor kan ikut mengelola (pengelolaan bisnisnya lebih terjamin).

Kalau dibandingkan franchise Indonesia dengan industri franchise diluar negeri seperti apa?

Kalau diluar negeri kan lebih dulu, mereknya sudah ribuan bahkan 10 ribu. Kita masih baru. Franchise Malaysia saja lebih kencang dari kita. Sebetulnya ini peluang bagi pengusaha yang usahanya bisa difranchisekan, segera difranchisekan sekarang ini. Saya sendiri, untuk TK (taman kanak-kanak) baru sekarang difranchisekan karena dulu terlalu dimanjakan dengan Primagama Bimbel. Sekarang untuk Bimbel Primagama agak sulit (buka outlet) karena terkait kebijakan jarak.

Jadi apa yang harus dilakukan?

Saya kira banyak yang harus dilakukan. Terutama pemerintah. Tapi Presiden SBY itu bukan orang bisnis, jadi tidak mengerti. Coba saya presidennya, saya bicarakan semua, bisnis itu harus seperti ini, franchise itu seperti ini. Menurut saya presiden boleh bicara seperti itu supaya ekonominya maju. Presiden bisa saja bilang, ayo semua bank kasih pinjaman untuk franchise. (Bisnis franchise) ini sama dengan bisnis yang lain. Risiko-risikonya sama.

Sarjana baru kita training dulu, kasih motivasi. Kemudian ambil franchise dengan dibiayai bank atau pemerintah. Saya pernah ke Jerman, rakyatnya itu dikasih pinjaman untuk usaha tanpa jaminan. Dan yang tidak bisa bayar (ngemplang) itu tidak banyak, tidak sampai 1%. Tapi dari pemimpinnya harus sudah begitu sehingga ke bawahnya akan mengikuti.

Itu dari sisi pemerintah. Kalau dari sisi pelaku franchisenya sendiri harus bagaimana?

Makanya kita (swasta) jalan sendiri saja. Sebetulnya negara itu, asal semua rakyatnya aktif dan bersatu, maju sendiri. Kalau sudah berjalan, rakyatnya aktif untuk maju semua, kita tidak butuh pemerintah. Mereka (pemerintah) itu yang penting-penting saja, misalnya keluar negeri, keamanan, hubungan, begitu-begitu saja. Tapi masalahnya, jiwa entrepreneur kita masih kacau akibat dijajah Belanda dulu. Mental kita sudah hancur-hancuran. Bukan mental pengusaha, tapi ambtenaar (pegawai). Mental pengusaha itu harus berani ambil risiko.

Prediksi dunia franchise Indonesia ke depan menurut Anda akan seperti apa?

Sekarang sudah bagus. Saya juga terus ikut mendorong (agar lebih bagus lagi).